Arti Nama Yuli Dalam Agama Hindu

Arti Nama Yuli Dalam Agama Hindu

Actions (login required)

SuaraBali.id - Dalam agama Hindu dipercaya ada 3 dewa tertinggi. Dewa tertinggi dalam agama Hindu disebut sebagai Trimurti atau Dewa Trimurti.

Ketiganya adalah Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Shiwa. Agama Hindu merupakan salah satu agama yang memiliki pengaruh cukup besar di Nusantara. Pengaruh Hindu sudah terlihat dari abad ke empat masehi

Berikut penjelasan Dewa tertinggi dalam agama Hindu:

Baca Juga:Daftar Hari Besar Agama Hindu, Ternyata Banyak, Bukan Cuma Hari Raya Nyepi

Dalam filsafat Adwaita, Dewa Brahma dipandang sebagai salah satu manifestasi dari Brahman yang dianggap sebagai Dewa pencipta, jiwa tertinggi yang abadi dan muncul dengan sendirinya.

Menurut Kitab Satapatha Brahmana, dijelaskan bahwa Dewa Brahma yang menciptakan, menempatkan, dan memberi tugas dewi dewi lain.

Dalam Kitab Mahabharata dan Purana, disebutkan bahwa Dewa Brahma merupakan leluhur dunia yang muncul dari pusar Dewa Wisnu.

Sebagai pencipta dunia, Dewa Brahma Dikenal dengan nama Hiranyagarbha atau Prajapati.

Dewa Brahma digambarkan sebagai sosok Dewa dengan empat muka menghadap ke empat penjuru arah mata angin yang melambangkan kekuasaan terhadap Catur Weda, Catur Yoga, dan Catur Warna.

Baca Juga:Konsep Tuhan Dalam Agama Hindu dan Aliran Utama

Sosok Dewa Brahma juga digambarkan memiliki empat tangan yang memegang alat alat yakni Aksamala / tasbih ( simbol tiada awal dan tiada akhir ), Sruk dan Surva ( simbol Upacara Yad ), Kamandalu / kendi ( simbol keabadian ), dan Pustaka ( simbol ilmu pengetahuan ).

Dewa Brahma disandingkan dengan Dewi Saraswati sebagai Dewi ilmu pengetahuan yang merupakan sebuah makna bahwa penciptaan atau suatu karya tanpa landasan ilmu pengetahuan adalah sia sia.

Dewa Wisnu atau disebut dengan Sri Wisnu atau Narayana merupakan Dewa tertinggi yang memiliki gelar shtiti ( pemelihara ) yang bertugas memelihara dan melindungi segala ciptaan Brahman.

Dalam filsafat Hindu Waisnawa ia dipandang sebagai roh suci dan Dewa tertinggi, akan tetapi dalam legenda lain Dewa Brahma adalah Dewa tertinggi.

Dilukiskan dalam Purana sebagai Dewa yang berkulit biru gelap, berlengan empat dan masing masing memegang terompet kulit kerang bernama Panchajanya (simbol kreativitas), cakram yang bernama Sudarshana (simbol pikiran baik), gada yang bernama Komodaki (simbol keberadaan individual), dan Bunga Lotus atau Padma (simbol kebebasan).

Dewa Wisnu merupakan wujud Tuhan Yang Maha Kuasa dengan memiliki enam sifat ketuhanan, antara lain :

Jnana, mengetahui segala sesuatu yang terjadi di alam semesta.

Aishvarya, maha kuasa yang berarti tidak ada yang dapat mengaturnya.

Shakti, memiliki kekuatan yang membuat apa yang tak mungkin menjadi mungkin.

Bala, maha kuat yang berarti mampu menopang segalanya tanpa merasa lelah.

Virya, kekuatan rohani sebagai roh suci dalam semua makhluk.

Tejas, memberi cahaya spiritualnya kepada semua makhluk.

Dalam beberapa ajaran juga menyebutkan bahwa perwujudan Dewa Wisnu ada banyak aspek dan wujud yang berbeda beda.

Syiwa atau Shiwa adalah Dewa ketiga dari tiga Dewa utama ( Trimurti ).

Dalam ajaran Agama Hindu, Syiwa adalah Dewa pelebur, bertugas melebur segala sesuatu yang sudah tidak layak berada di dunia fana untuk dikembalikan ke asalnya.

Umat Hindu Bali memuja Dewa Syiwa di Pura Dalem, sebagai Dewa yang mengembalikan manusia dan makhluk hidup lain ke unsurnya. Dalam tradisi Indonesia lain, Dewa Syiwa juga disebut dengan Batara Guru.

Perwujudan Dewa Syiwa diyakini memiliki tiga mata ( tri netra ), mengenakan hiasan kepala berbentuk ardha Chandra ( bulan sabit ), mengenakan hiasan di leher dari ular kobra, mengenakan ikat pinggang dari kulit harimau, berkendaraan Lembu Nandini, serta bertangan empat yang masing masing membawa Trisula, camara, tasbih, dan Kendi.

Jika simbol dari Trimurti digabungkan maka akan menjadi “ AUM “ dibaca “ OM” yang merupakan simbol suci Agama Hindu.

Kontributor : Jeffri Jeff

UPACARA NGABEN DALAM AGAMA HINDU

Admin kesrasetda | 29 Maret 2021 | 425320 kali

Ngaben adalah upacara pembakaran jenazah umat HIndu di Bali.Upacara ngaben merupakan suatu ritual yang dilaksanakan untuk mengembalikan roh leluhur ke tempat asalnya.Ngaben dalam bahasaBali berkonotasi halus yang sering disebut palebon.Palebon berasal dari kata lebu yang artinya prathiwi atau tanah.Palebon artinya menjadikan prathiwi (abu).Untuk menjadikan tanah itu ada dua cara yaitu dengan cara membakar (ngaben) dan menanam ke dalam tanah (metanem).

Tujuan upacara ngaben

Tujuan dari upacara ngaben adalah mempercepat ragha sarira agar dapat kembali ke asalnya,yaitu panca maha buthadi alam ini dan bagi atma dapat cepat menuju alam pitra.landasan filosofis ngaben secara umum adalah panca sradha yaitu lima kerangka dasar Agama Hindu yaitu Brahman, Atman, Karmaphala, Samsara dan Moksa. Sedangkan secara khusus ngaben dilaksanakan karena wujud cinta kepada para leluhur dan bhakti anak kepada orang tuanya.Upacara ngaben merupakan proses pengembalian unsur panca maha butha kepada Sang pencipta. Ngaben juga disebut sebagai pitra yadnya ( lontar yama purwana tattwa).Pitra yang artinya leluhur atau orang yang mati sedangkan yadnya adalah persembahan suci yang tulus ikhlas.

Pelaksanaan ritual upacara ngaben / Pitra Yadnya

Asal kata Atiwa-tiwa: Ati = berkeinginan, Awa =  terang atau bening atau bersih. Artinya: Keinginan melaksanakan pebersihan dan penyucian jenasah dan kekuatan Panca Maha buthanya. Atiwa-tiwa juga disebut upacara melelet atau upacara pengeringkesan. Merupakan upacara pebersihan dan penyucian secara permulaan thd jenasah dari kekuatan Panca Maha Butha. Dikenal dg Puja Pitara utk meningkatkan kesucian Petra menjadi Pitara.

Ngeringkes atau Ngelelet pengertiannya adalah pengembalian atau penyucian asal mula dari manusa yaitu berupa huruf2 suci sehingga harus dikembalikan lagi. Manusia lahir diberi kekuatan oleh Sang Hyang Widhi berupa Ongkara Mula, didalam jasad bermanifestasi menjadi Sastra Mudra, Sastra Wrestra (Nuriastra) dan Sastra Swalalita. Ketiga kekuatan sastra ini memberi makna Utpti, Stiti, Pralina (lahir, hidup, mati). Ketiga sastra ini kemudian bermanifestasi lagi memberi jiwa kepada setiap sel tubuh. Sebagai contoh Sastra Wrestra (Nuriastra) antara lain:

1.    A = kekuatan pada Ati Putih

2.    Na = kekuatan pada Nabi (pusar)

3.    Ca = cekoking gulu (ujung leher)

4.    Ra = tulang dada (tulang keris)

5.    Ka = pangrengan (telinga)

7.    Ta = netra (mata)

8.    Sa = sebuku-buku (sendi)

9.    Wa = ulu hati  (Madya)

10. La = lambe (bibir)

11. Ma = cangkem (mulut)

12. Ga = gigir (punggung)

13. Ba = bahu (pangkal leher)

14. Nga = irung (hidung

16. Ja = jejaringan (penutup usus)

17. Ya = ampru (empedu)

18. Nya = smara (kama)

Tubuh manusia memiliki 108 Sastra Dirga (huruf-huruf suci) yang pada waktu meninggal sastra2 itu dikembalikan ke sastra Ongkara Mula atau disebut Ongkara Pranawa. Proses pengembalian ini disebut Ngeringkes yang memerlukan upacara dan sarana. Atiwa-tiwa sudah merupakan pensucian tahap permulaan, sehingga setelah atiwa-tiwa jenasah sudah bisa digotong dinaikkan ke paga atau wadah. Jika dikubur tanpa atiwa-tiwa sesungguhnya jenasah tidak boleh digotong, tetapi dijinjing karena masih berstatus Petra.

1.    Upakara Munggah di Kemulan

Peras, soda, daksina, suci alit asoroh, tipat kelanan, canang suci.

2.    Upakara Munggah di Surya

Peras, soda, daksina, tipat kelanan, canang pesucian

3.    Upakara disamping jenasah

Peras, soda, daksina. Tipat kelanan. Banten saji pitara asele. Peras pengambean, penyeneng, rantasan. Eteh-eteh pesucian, pengulapan, prayascita, bayekawonan. Banten isuh-isuh, lis degdeg (lis gede), bale gading (Kereb Akasa).

4.    Upakara Pepegatan

Pejati asoroh, banten penyambutan pepegatan angiyu, sebuah lesung, segehan sasah 9 tanding.

5.    Upakara Pengiriman

Pejati lengkap 4 soroh (termasuk pekeling di Prajapati), Saji Pitra asele, punjung putih kuning, tipat pesor dan nasi angkeb, Peras Pengambean, segehan sasah 9 tanding.

6.    Upakara Pengentas Bambang

Pejati lengkap asoroh, tumpeng barak, soda barak ulam ayam biying mepanggang, prayascita, bayekawonan, pengulapan, segehan barak atanding.

7.    Upakara di Sanggah Cucuk

Pejati asoroh, canang payasan, banten peras tulung sayut.

UPACARA PENGABENAN NGEWANGUN

Semua organ tubuh (sebagai awangun) memperoleh material upakara sehingga upakaranya banyak. Ngaben jenis ini diikuti dengan Pengaskaran. Ada dua jenis: (1) Upacara Pengabenan mewangun Sawa Pratek Utama, ada jenasah atau watang matah.  (2) Upacara Pengabenan mewangun Nyawa Wedana, tidak ada jenasah tetapi disimbulkan dengan  adegan kayu cendana yang digambar dan ditulis aksara sangkanparan. Nyawa Wedana berasal dari kata Nyawa atau nyawang (dibuat simbul). Wedana = rupa atau wujud. Dengan demikian Nyawa Wedana artinya dibuatkan rupa2an (simbolis manusia).

UPACARA PENGABENAN PRANAWA

Pengabenan dengan sarana upakaranya ditujukan kepada 9 lobang yang ada pada diri manusia. Pranawa berasal dari kata Prana (lobang, nafas, jalan) dan Nawa (artinya 9). Kesembilan lobang yang dimaksud adalah:

1.    Udana (lobang kening), mempengaruhi baik buruknya pikiran

2.    Kurma (lobang mata) mempengaruhi budhi baik atau buruk , terobos ke dasendriya

3.    Krkara (lobang hidung), pengaruh Tri Kaya, jujur atau tidak4.Prana (mulut). Dosa bersumber dari mulut (Tri Mala Paksa)

5.    Dhananjya (kerongkongan). Kekuatan mempengaruhi manah – sombong dan durhaka

6.    Samana (lobang pepusuhan), pengaruh jiwa menjadi loba dan serakah.

7.    Naga (lobang lambung)  pengaruh karakter yang berkaitan dg Sad Ripu

8.    Wyana (lobang sendi) pengaruhi perbuatan memunculkan Subha Asubha Karma.

9.    Apana (pantat  kemaluan) pengaruhi kama yg berkaitan denga Sapta Timira.

Kesembilan lobang manusia ini dapat mengantar manusia kelembah dosa. Pengabenan Pranawa juga diikuti dengan upacara pengaskaran.

Ada lima jenis Pengabenan Pranawa

1.    Sawa Pranawa: Disertai jenasah atau watang matah

2.    Kusa Pranawa :  dg watang matah atau hanya dengan adegan saja. Adegannya disertakan pengawak dari 100 katih ambengan. Memakai upacara pengaskaran.

3.    Toya Pranawa. Sama dg Kusa Pranawa, hanya didalam adegannya berisi payuk pere, berisi air dan dilengkapi dengan eteh2 pengentas. Juga memakai Pengaskaran.

4.    Gni Pranawa. Sama dengan pranawa lainnya, juga melakukan pengaskaran tapi pengaskaran nista yang dilakukan di setra setelah sawanya menjadi sekah tunggal. Tanpa uperengga seperti Damar kurung, tumpang salu, pepelengkungan, ancak saji, bale paga, tiga sampir, baju antakesuma, paying pagut. Hanya  memakai dammar layon, peti jenasah dan pepaga/penusangan.

5.    Sapta Pranawa. Upacara ini dilakukan dirumah, menggunakan damar kurung dan pengaskaran. Tapi tidak menggunakan Bale Paga pd waktu mengusung jenasah ke setra. Hanya menggunakan pepaga/penusanganb.  juga dilaksanakan langsung di setra tapi pelaksanaan pengabenannya mapendem, serta pelaksanaan pengentasnya diata bambang.

Pengabenan sederhana, dengan tingkat terkecil  karena tidak dengan pengaskaran. Berarti tidak menggunakan kajang, otomatis tanpa upacara Pengajuman Kajang. Tidak  menggunakan bale paga, damar kurung, damar layon, damar angenan, petulangan, tiga sampir, baju antakesuma dan payung pagut. Hanya menggunakan peti jenasah  dan Pepaga/penusangan untuk mengusung ke setra. Pelaksanaan upacara di setra saja. Pengabenan Swastha Geni ini sering rancu dengan pengabenan Geni Pranawa.

Swasta asal katanya “su” (luwih, utama). Astha berasal dari Asthi (tulang, abu). Dengan demikian Swastha berarti pengabenan kembali ke intinya tapi tetap memiliki nilai utama. Pengabenan swstha terdiri dua jenis:

1.    Pengabenan Swastha Geni. Penyelesaian di setra dengan cara membakar jenasah maupun tanpa jenasah. Hanya ada pelaksanaan “pengiriman” setelah dibuatkan bentuk sekah tunggal, kemudian dilanjutkan dengan upacara nganyut. Setelah itu selesai.

2.    Pengabenan Swastha Bambang. Semua runtutan pelaksanaannya upakaranya dilaksanakan di atas bambang penguburan jenasah. Kwantitas upakaranya sama dengan pengabenan Swastha Geni hanya saja dalam upakaranya ditambah dengan “pengandeg bambang”. Pengabenan swastha bambang ini tidak disertakan upacara pengerekan dan penganyutan , karena tidak dilakukan pembakaran melainkan dikubur. Sedangkan “pengelemijian” dan pengerorasan tetap dilaksanakan seperti ngaben biasa. Pengabenan Swastha Geni atau Swastha Bambang termasuk pengabenan nista utama, tidak memakai bale paga, tidak melaksanakan pengaskaran dan pada saat ke setra memakai tumpang salu saja.

3.    Pengabenan Kerthi Parwa. Termasuk pengabenan tingkat nistaning utama. Dilakukan pada umat Hindu yang gugur di medan perang. Tidak dilakukan pengaskaran, hanya upacara ngentas dan pengiriman saja. Pelaksanaanya seperti pengabenan Swastha Geni.

4.    Pengabenan Ngelanus. Sebenarnya tidak termasuk bagian dari jenis pengabenan. Hanya teknisnya yang dibuat cepat. Ada dua jenis pengabenan ngelanus yaitu:

a.    Ngelanus Tandang Mantri. Pengabenan dan pemukuran diselesaikan dalam satu hari. Pengabenan ini mengacu pada sastra agama “Lontar Kramaning Aben Ngelanus”. Disebut juga dengan Pemargi Ngeluwer. Pengabenan ini hanya untuk para Wiku, tidak diperkenankan untuk walaka.

b.    Ngelanus Tumandang Mantri. Dilakukan untuk walaka dalam kurun waktu satu sampai dua hari untuk para walaka . Upakara dan upacaranya tergantung kwantitas upakara dan upacaranya.

JAKARTA, celebrities.id Dewa dewi dalam agama Hindu beserta tugasnya bersifat esa dan berperan sebagai sosok penguasa mutlak nan kekal.Namun, dewa dewi tersebut juga mewujud sesuai tugasnya masing-masing dalam menjaga keseimbangan alam.

Mengutip dari berbagai sumber, Selasa (22/2/2022), berikut ini dewa dewi dalam agama Hindu yang paling populer dan juga tugas-tugas yang mereka emban.

Dewa-Dewi dalam agama Hindu yang pertama adalah Brahma. Dewa Brahma adalah bagian pertama dari Tritunggal yang bertugas sebagai pencipta semesta.

Dalam mitologi Hindu, Dewa Brahma lahir bukan dari rahim seorang ibu melainkan dari sebuah bunga teratai.

Dewa-Dewi dalam agama Hindu yang ke-dua adalah Wisnu. Seperti Dewa Brahma, Dewa Wisnu adalah bagian dari Tritunggal yang tugasnya mempertahankan keharmonisan alam semesta. Nantinya, tugas Dewa Wisnu akan dilanjutkan dengan anggota Tritunggal ke-tiga.

Dewa-Dewi dalam agama Hindu yang ke-tiga adalah Siwa. Melanjutkan tugas Dewa Wisnu, Dewa Siwa berperan sebagai pelebur alam semesta dan mempersiapkannya untuk penciptaan kembali. Dengan tugasnya ini, siklus kehidupan pun akan dimulai kembali di tangan Dewa Brahma.

Dewa-Dewi dalam agama Hindu yang selanjutnya adalah Ganesha. Dikenal berkepala gajah, Dewa Ganesha adalah dewa ilmu pengetahuan dan juga kebijaksanaan. Meski Tuhan punya konsep tak beranak dan diperanakkan, dalam panteon Hindu Dewa Ganesha adalah putra dari Dewa Siwa.

Dewa-Dewi dalam agama Hindu yang berikutnya adalah Sri. Sering disebut oleh orang tua ketika anak-anaknya enggan menghabiskan makanan, Dewi Sri adalah seorang Dewi yang bertugas untuk mengatur pangan serta pertanian di alam semesta.

Dewa-Dewi dalam agama Hindu yang terakhir adalah Agni. Merupakan Dewa Api, Dewa Agni berperan sebagai pemimpin upacara dan juga duta untuk para Dewa. Ia dikenal sebagai Dewa Api karena tubuhnya yang digambarkan berwarna merah dan rambut yang mirip kobaran api.

Al Asmaa' Bt Dollah Abdull Aziz (2010) KETUHANAN DALAM AGAMA HINDU DAN AGAMA BUDDHA (STUDY KOMPERATIF). Skripsi thesis, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.

Sesungguhnya, setiap agama yang ada dan berkembang di muka bumi ini, bertitik tolak dari kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Kuasa. Tuhanlah yang mengatur semua ini, Tuhan pula sebagai penyebab pertama segala yang ada. Hal ini diakui dalam setiap agama termasuk agama Hindu dan agama Buddha. Maka Skripsi yang telah penulis teliti adalah yang berjudul “KETUHANAN DALAM AGAMA HINDU DAN AGAMA BUDDHA (STUDY KOMPERATIF)”. Kitab suci Hindu demikian lancar dalam melukiskan sifat-sifat Tuhan. Tuhan dalam Agama Hindu disebut sebagai Brahman dan Sang Hyang Widhi. Selain itu, Pada dasarnya, ketuhanan dalam Agama Hindu adalah kepada Tuhan Yang Esa, tetapi sistem ketuhanannya terkoordinasi dalam konsep ketuhanan Trimurti. Trimurti ini terbahagi kepada tiga (sifat) yaitu Brahman, Wisnu, dan Siwa. Dewa-dewa di lukiskan dalam bentuk konkrit untuk tujuan penyembahan. Adapun Agama Buddha (Mahayana) umatnya berkeyakinan terhadap Tuhan yang Maha Esa dan meyebutkan Tuhan Yang Maha Esa dengan sebutan yang berbeda-beda antaranya Sang Hyang Adi, Parama Buddha, Hyang Tathagata dan lainnya tetapi hakikatnya adalah satu dan sama. Seperti halnya dalam Agama Hindu, Agama Buddha aliran Mahayana ini juga berkeyakinan terhadap tiga perwujudan yaitu Trikaya. Trikaya terbahagi kepada Dharmakaya (Zat Tunggal), Samboghakaya (Welas Asih), dan Nirmanakaya (Percobaan Ajaib). Doktrin zat- zat samawi pada mulanya difahami dalam bentuk abstrak namun lambat laun dipersonafikasikan dalam bentuk konkrit bagi keperluan pemujaan. Penelitian yang digunakan penulis adalah penelitian kepustakaan (Library Research) dimana penulis mencari literatur-literatur yang ada hubungan dan kaitannya dengan kajian ini. Mekanisme penyajian yang digunakan adalah sumber data Primer yaitu bersumberkan Kitab Hindu Bhagawad Gita (Pancama Veda) dan Kena Upanisad (Kenopanisad) serta Kitab Buddha Udana (Ungkapan Nurani Para Arya). Disamping itu, sumber data sekunder pula adalah literature dari buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian. Temuan penelitian ini adalah bahwa Agama Hindu dan Agama Buddha mempunyai konsep kepercayaan kepada tuhan. Malah, mempunyai keyakinan terhadap tiga perwujudan yaitu Trimurti dan Trikaya. Selain itu, umat kedua agama ini menggunakan patung-patung yang berbentuk konkrit bagi keperluan pemujaan.